Rabu, 20 Januari 2010

Risalah Puasa

Etika Berpuasa
Diantara Etika puasa itu ada yang wajib dan ada pula yang sunnah, yang di antaranya adalah:
• Berupaya sedapat mungkin untuk sahur dan mengakhirkannya hingga di pengujung waktunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً.
“Makan sahurlah kamu, karena sahur itu mengandung berkah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, 4/139]
Jadi, sahur adalah makanan yang penuh dengan berkah dan sekaligus menyelisihi kebiasaan Ahlul Kitab. Dan sebaik-baik makanan sahur adalah kurma. [Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 2345, disebutkan dalam Shahihut Targhib, 1/448]
• Segera berbuka (bila telah sampai waktunya), karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا اْلفِطْرَ.
“Orang-orang akan senantiasa mendapat kebajikan selagi mereka segera berbuka.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, 4/198]
Dan ifthar (berbuka) dengan me-makan beberapa buah ruthab (kurma basah) sebagaimana disebutkan di dalam hadits Anas radhiyallah ‘anhu ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu biasanya berbuka sebelum melakukan shalat dengan makan beberapa ruthab, dan jika tidak ada ruthab maka kurma kering, dan jika tidak ada kurma kering, maka beliau meneguk beberapa teguk air minum. [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 3/79 dan lainnya, ia mengatakan: Hadits hasan gharib. Ia men-shahih-kannya dalam Al-Irwa’ dengan no. 922] Dan sesudah ifthar hendaknya mengucapkan bacaan seperti yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila telah berbuka mengucapkan:
ذَهَبَ الظَمَأُ، وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوقُ، وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.
‘Telah hilang dahaga, urat-urat pun menjadi basah dan pahala pun telah pasti diraih – insya Allah.” [Diriwayatkan oleh Abu Daud, 2/765. Isnadnya dihasankan oleh Ad-Daruquthni, 2/185]
• Menghindari rafats, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
.. إِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمَ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ..
“.. Apabila pada hari seseorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah ia berbuat rafats ...” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1904]
Rafats adalah jatuh di dalam perbuatan maksiat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tetap melakukannya, maka Allah tidak akan menghiraukan orang itu meninggalkan makanan dan minumannya (berpuasa).” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1903]
Dan hendaklah orang yang berpuasa meninggalkan semua perbuatan haram, seperti menggunjing, perkataan jorok dan dusta, karena perbuatan haram tersebut dapat menghapus seluruh pahala puasanya; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ.
“Betapa banyak orang yang berpuasa, ia tidak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar belaka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, 1/539, disebut-kan dalam Shahihut Targhib, 1/453]
• Dan di antara hal yang dapat menghapus pahala kebajikan dan mendatangkan dosa-dosa adalah sibuk dengan nonton perlombaan, film-film sinetron, pertandingan, nongkrong-nongkrong yang tidak berguna, mondar-mandir di jalan-jalan bersama-sama rekan-rekan buruk yang suka menyia-nyiakan waktu, mobil-mobilan, berdesak-desakan di trotoar dan lorong-lorong, hingga bulan tahajjud, dzikir dan ibadah (baca: bulan puasa) –bagi kebanyakan orang)– menjadi bulan ngorok (tidur) di siang hari agar tidak merasa lapar yang menyebabkan terabaikannya shalat wajib dan shalat berjama’ah; kemudian di malam hari yang ada hanya senda-gurau dan tengggelam di dalam lembah nafsu syahwat, bahkan sebagian mereka ada yang menyambut bulan suci Ramadhan dengan keluh-kesah karena akan kehilangan berbagai kelezatan, dan sebagian lagi ada yang bepergian di bulan Ramadhan ke negeri orang-orang kafir untuk menikmati liburan panjangnya!! Dan yang lebih fatal lagi adalah banyaknya kemungkaran terjadi di masjid, seperti banyaknya wanita yang datang ke masjid dengan tabarruj (perhiasan dan dandanan kecantikan) dan parfum, bahkan Baitullah pun tidak luput dari bencana ini. Sebagian di antara mereka ada yang menjadikan bulan suci Ramadhan sebagai musim untuk berleha-leha, tidak butuh kepadanya; dan sebagian lagi ada yang bermain dengan sesuatu yang membahayakan seperti petasan dan kembang api; ada juga yang sibuk bertransaksi di pasar dan shoping di swalayan dan super market; dan ada pula wanita-wanita yang sibuk dengan menjahit pakaian dan mengumpulkan berbagai mode pakaian serta mengoleksinya pada sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadhan yang merupakan hari-hari kemuliaan, hingga membuat banyak orang lalai dan tidak sempat untuk meraih pahala dan kebajikan.
• Hendaknya tidak berteriak-teriak, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ، أَوْ شَاتَمَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، إِنِّي صَائِمٌ.
“Dan jika ada seseorang yang menyerangnya atau memakinya, maka hendaklah ia (orang sedang berpuasa) mengatakan, “Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1894]
Yang pertama (ungkapan: Aku sedang berpuasa) sebagai teguran bagi dirinya sendiri dan yang kedua sebagai teguran bagi lawannya. Orang yang memperhatikan kepada moralitas kebanyakan orang-orang yang berpuasa akan menemukan lawan dari akhlak mulia di atas. Maka wajib (bagi kita) mengendalikan nafsu dan selalu menjaga ketenangan. Namun yang anda lihat adalah sebaliknya, banyak para sopir yang melintas cepat (dengan mobilnya) di waktu adzan Maghrib berkumandang.
• Tidak terlalu banyak makan, karena hadits mengatakan,
مَا مَلَ أَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ …
“Tiada bejana yang dipenuhi oleh manusia yang lebih buruk daripada perutnya ….” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, no. 2380, ia mengatakan: Hadits hasan shahih]
Hanyalah orang yang berakal yang makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan, dan sebaik-baik makanan adalah yang membantu dan seburuk-buruknya adalah yang menyibukkan. Betapa banyak manusia yang tenggelam di dalam pembuatan berbagai macam makanan, hingga menyita banyak waktu kaum ibu di rumah dan para pembantu sampai membuat mereka lalai beribadah, bahkan uang yang dihabiskan untuk membeli bahan-bahan makanan jauh lebih besar daripada biasanya, dengan demikian bulan puasa menjadi bulan memupuk lemak dan berbagai penyakit pencernaan, makan bagaikan orang yang tidak pernah makan dan minum seperti orang yang tidak pernah minum, lalu apabila bangkit untuk shalat tarawih kemalasan pun menyelimutinya, sampai ada sebagian mereka yang meninggalkan shalat tarawih pada raka’at yang pertama.
• Mendermakan ilmu, harta, kemuliaan, badan dan akhlak. Di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah manusia yang paling dermawan (dengan kebaikan), dan lebih dermawan lagi apabila dibulan Ramadhan ketika beliau ditemui oleh Jibril; Jibril biasanya menemui Nabi pada setiap malam di bulan Ramadhan, di situlah Jibril mentadaruskan Al-Qur’an kepada beliau. Sungguh, Rasulullah lebih dermawan dengan kebaikan daripada angin yang bertiup kencang.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 6]
Memadukan puasa dan memberikan makanan itu merupakan faktor yang menyebabkan pelakunya masuk surga, sebagaimana disabdakan oleh baginda Rasulullah:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا، أَعَدَّ اللهُ لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَأَلاَنَ الْكَلاَمَ، وَتَابَعَ الصِّيَامَ، وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ.
“Sesungguhnya di surga itu ada kamar-kamar yang luarnya terlihat dari dalam, dan bagian dalam tampak dari luar, yang disediakan oleh Allah bagi orang yang memberikan makanan, memperlembut pembicaraan, menyambung puasa (Ramadhan dengan puasa enam hari Syawal. pent) dan shalat di malam hari di waktu manusia sedang istirahat.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/343 dan Ibnu Majah no. 2137. Dalam komentarnya Al-Albani mengatakan: Isnadnya hasan li ghairihi]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ.
“Barangsiapa yang memberi buka puasa kepada seorang yang berpuasa, maka ia memperoleh sebesar pahalanya dengan tidak berkurang sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu.” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 3/171, disebut-kan dalam Shahihut Targhib, 1/451]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Yang dimaksud memberinya makanan untuk berbuka puasa adalah sampai orang itu kenyang.” [Al-Ikhtibarat Al-Fiqhiyyah, h. 109] Para kaum salaf banyak yang lebih mementingkan kaum fakir miskin dari pada diri mereka sendiri dengan memberikan persediaan buka puasa yang mereka miliki kepada mereka, seperti Abdullah bin Umar, Malik bin Dinar, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Adapun Abdullah bin Umar, ia tidak berbuka puasa kecuali bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

Beberapa Hal yang Selayaknya Dikerjakan di Bulan Suci ini
• Mempersiapkan suasana dan jiwa untuk beribadah, segera bertobat dan berinabah (kembali) kepada Allah, bergembira karena datangnya bulan Ramadhan, mengerjakan puasa secara baik, khusyu’ di dalam menjalankan shalat tarawih, tidak merasa jenuh pada sepuluh hari kedua, dan berupaya maksimal untuk mendapatkan Lailatul Qadar, menamatkan bacaan Al-Qur’an secara berkesinambungan dengan disertai tangisan dan penghayatan, umrah di bulan suci Ramadhan yang sama pahalanya dengan menunaikan ibadah haji, berse-dekah yang dilipatgandakan pahala-nya dan i’tikaf sangat dianjurkan.
• Tidak mengapa anda mengucapkan selamat atas datangnya bulan suci Ramadhan, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakan dengan penuh gembira kepada para shahabatnya akan kedatangan bulan suci Ramadhan dan menghimbau mereka untuk memeliharanya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasu-lullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ، فَرَضَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ، تُغَلُّ فِيْهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِيْنِ، فِيْهِ لَيْلَةٌ هِيَ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ.
“Telah datang kepada kalian bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah telah mewajibkan kamu berpuasa Ramadhan, pada bulan ini pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu Jahannam ditutup, tangan-tangan setan dibelenggu, dan di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, maka barangsiapa yang dijauhkan dari kebaikannya, maka benar-benar telah dijauhkan.” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’i, 4/129, disebutkan dalam Shahihut Targhib, 1/490]

Khutbah Rasul SAW Menjelang Ramadhan

Dari Salman al-Farisi ra. ia berkata bahwa Rasulullah SAW di akhir bulan Sya`ban berkhutbah kepada kami, beliau bersabda, "Wahai manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh berkah. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilai (ibadah) di dalamnya lebih baik dari 1. 000 bulan.
Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai perbuatan sunnah (tathawwu`).
Barangsiapa (pada bulan itu) mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan,
ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain.
Barangsiapa yang mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70
kebaikan di bulan yang lain.

Ramadhan adalah bulan kesabaran, dan kesabaran itu balasannya surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong, di mana di dalamnya rezki seorang Mukmin bertambah (ditambah).

Barangsiapa (pada bulan itu) memberikan bukaan kepada seorang yang berpuasa, maka itu menjadi maghfirah (pengampunan) atas dosa-dosanya, penyelamatnya dari api neraka dan ia memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa (itu) sedikitpun." Kemudian para Sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan sebagai bukaan orang yang berpuasa." Rasulullah SAW berkata, " Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan bukaan dari sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka." (HR Baihaqî)

Khutbah Nabi SAW yang diriwayatkan dari seorang Sahabat mulia, Salman al-Farisi di atas mengandung (secara implisit) beberapa stimulan dalam menyongsong bulan Ramadhan. Nabi SAW dalam khutbahnya tersebut menginginkan agar umat Islam benar-benar memahami kualitas tamu agung yang akan mendatangi umat Islam ini. Stimulan dalam khutbah di atas dapat dijabarkan dalam beberapa poin:

Pertama, bulan Ramadhan merupakan bulan yang agung dan penuh keberkahan. Keagungan dan keberkahan bulan ini dapat dilihat dari penghormatan Allah terhadapnya. Allah menurunkan Al-Qur'an di dalamnya. Selain itu, ada sebuah fenomena yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan bulan-bulan yang lainnya, di mana hati setiap Mukmin tergerak untuk bersedekah lebih banyak, membaca Al-Qur'an lebih getol, dan qiyamullail. Sehingga dapat dikatakan bahwa Ramadhan merupakan 'musim seminya' Al-Qur'an. Lebih dari itu semua, keagungan dan keberkahan Ramadhan karena memiliki satu malam yang nilai ibadah di dalamnya lebih baik dari 1.000 bulan, yakni malam Laitul Qadar. Hal ini secara gamblang dijelaskan oleh Allah SWT: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur'an pada malam Laitul Qadar. Tahukah kalian apa Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbitnya fajar." (Qs. Al-Qadr [97]: 1-5). Sungguh, malam Lailatul Qadar itu merupakan bonus ibadah bagi setiap Mukmin. Secara matematis, 1.000 bulan itu sekitar 84 tahun. Padahal umur manusia (umat Islam) jarang yang mencapai angka itu. Tapi, jika ibadah pada malam Lailatul Qadar itu benar-benar (dilakukan) karena mengharap ridha Allah, maka nilainya lebih baik dari ibadah yang dilakukan selama 1.000 bulan. Oleh karena itu, Nabi SAW memberikan contoh bagaimana agar setiap Muslim bersungguh-sungguh beribadah di sepuluh akhir Ramadhan. Dalam Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra. beliau bersabda, "Carilah malam Lailatul Qadar itu pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam bab keutamaan 'Lailatul Qadar'/2020). Oleh karenanya, beliau menganjurkan agar setiap Mukmin yang berpuasa dapat menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan keikhlasan (perhitungan), "…barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan keikhlasan (perhitungan), maka dosanya yang telah lalu diampuni." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam bab keutamaan Lailatul Qadar/2014).
Kedua, pelipatgandaan pahala kebaikan. Ramadhan merupakan bulan yang menjadikan nilai seorang hamba berlipat-lipat. Pahala sunnah dinilai sebagai pahala amal yang wajib, yang dikerjakan pada bulan lain. Bahkan, satu kebaikan dibalas dengan 70 kebaikan. Luar biasa!

Ketiga, bulan kesabaran. Proses imsâk yang dilakukan bagi setiap orang yang puasa, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari merupakan sebuah proses pembentukan karakter sabar. Satu perbuatan yang sangat dicintai oleh Allah SWT. Pada bulan inilah setiap Mukmin yang berpuasa digembleng untuk menjadi seorang yang ulet dan tahan uji. Sehingga Nabi SAW menyatakan bahwa balasan sabar adalah surga. Hal ini sangat paralel dengan firman Allah: "Jadikanlah sabar dan shalat itu sebagai penolong kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (Qs. Al-Baqarah [2]: 153).

Keempat, Ramadhan merupakan bulan 'semangat sosial'. Seorang yang melakukan puasa merupakan orang yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Empati mereka benar-benar tampak nyata. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan bersedekah dan berderma pada bulan Ramadhan sangat fenomenal. Maka tidak heran, jika sejak awal puasa, para ulama membolehkan pembayaran zakat fitrah. Ini merupakan bentuk konkret dari 'kepekaan sosial'. Karena ternyata, seorang Mukmin yang berpuasa diajak langsung praktek merasakan lapar dan dahaga, sebagaimana yang dirasakan oleh para fakir-miskin. Bahkan, orang yang memberikan bukaan kepada orang yang berpuasa akan menjadi ampunan dosa, dibebaskan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukan puasa itu sendiri. Lebih untung lagi, ternyata pahala yang berpuasa itu tidak berkurang sedikitpun.

Kelima, Ramadhan memiliki tiga bagian penting: rahmat, ampunan (maghfirah) dan pembebasan dari api neraka. Tentunya, untuk memperoleh ketiga substansi puasa tersebut, seorang Mukmin harus benar-benar memurnikan niat dan membulatkan ikhtiarnya: untuk mempersembahkan ibadah yang terbaik kepada Allah. Dengan demikian, seorang Mukmin tidak bisa bertindak pragmatis: memilah dan memilih bagian dari ketiga substansi tersebut. Ia harus dilalui secara berurutan. Dengan demikian, pembebasan dari api neraka tidak akan tercapai, sebelum diperolah maghfirah Allah SWT. Dan maghfirah ini tidak akan direngkuh, sebelum mendapatkan rahmat (kasih sayang) Allah SWT. Ketiga subtansi itu tidak bisa dipisahkan, karena puasa merupakan hak prerogatif Allah, "Setiap amalan Anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku dan aku (sendiri) yang akan membalasnya." (Hadits Qudsi. Hadits Qudsi ini diriwayatkan dari Abdullah ibn Muhammad, dari Hisyâm, dari Ma`mar, dari az-Zuhrî, dari Ibnu al-Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW).

Khutbah Nabi SAW adalah khutbah yang ditujukan kepada kita. Seolah-olah beliau berdiri di hadapan kita: memberikan tuntunan dalam menyambut sang tamu agung. Kita berharap khutbah beliau menjadi pedoman komplit sebelum 'sang tamu agung' datang ke hadapan kita. Dengan demikian, lahir dan batin kita telah siap menerima kehadirannya. Wallâhu a`lamu bi as-shawâb!